Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai bahwa pemerintah Indonesia perlu memperbaiki regulasi untuk meningkatkan kepercayaan investor dalam sektor investasi EBT (energi baru terbarukan).
Saat ini, sejumlah kebijakan menghambat investasi EBT sehingga menyebabkan stagnasi. Berdasarkan laporan terbaru IEEFA “Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential,” kebijakan pemerintah belum cukup optimal untuk menarik investor di sektor EBT, yang membutuhkan dana hingga US$ 146 miliar.
Mutya Yustika, penulis dan analis keuangan energi IEEFA, menyatakan bahwa langkah reformasi kebijakan belum membuahkan hasil karena dinilai tidak menguntungkan investor dan implementasinya kurang baik. Salah satu masalah utama adalah persyaratan kontrak yang sangat menuntut untuk energi surya dan angin, yang menyebabkan peningkatan biaya dan membuat investor swasta enggan menanamkan modal.
“Investor swasta akan tertarik masuk ke pasar energi terbarukan Indonesia jika ada prosedur pengadaan yang jelas dan ringkas, serta pelaksanaan regulasi yang konsisten dan dapat dipercaya,” ujarnya pada Rabu (24/7).
IEEFA merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menetapkan prosedur pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan jelas, didukung oleh syarat dan ketentuan yang seimbang secara komersial. Langkah ini diharapkan memberikan kepastian bagi investor swasta potensial dan memastikan Indonesia mampu mencapai target dekarbonisasi.
Perbaikan ini sangat diperlukan mengingat investasi energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan dalam tujuh tahun terakhir, meski memiliki sumber daya yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat investasi US$ 1,5 miliar yang setara dengan tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 574 megawatt (MW). Angka ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Vietnam yang telah memiliki kapasitas energi surya hingga 13.035 MW dan angin 6.466 MW.
Bagaimana Nasib Investasi EBT di Indonesia?
Laporan IEEFA juga mengidentifikasi sejumlah hambatan yang menurunkan minat investor untuk membiayai proyek energi terbarukan di Indonesia. Hambatan pertama adalah kewajiban bekerja sama dengan PT PLN (Persero) dan anak usahanya dengan kepemilikan saham mayoritas 51%, menjadikan PLN sebagai pemilik de facto proyek dan menurunkan minat investor swasta.
Peran ganda PLN sebagai pemegang saham dan pembeli listrik energi terbarukan menciptakan konflik kepentingan.
Sejak 2017, pemerintah melarang pengalihan kepemilikan saham proyek energi terbarukan sebelum proyek beroperasi secara komersial (COD), membatasi kemampuan investor untuk memperoleh tambahan modal dan keahlian teknis selama proses pembangunan proyek. Pemerintah juga menetapkan skema ‘delivery-or-pay’ yang menuntut penalti bagi investor jika tidak memenuhi kapasitas energi yang harus dihasilkan.
Meski banyak desakan untuk penerapan feed-in tariff, pemerintah justru menetapkan skema tarif batas atas (ceiling tariff) untuk energi terbarukan, membuat proses lelang memilih produsen listrik dengan tarif terendah sehingga sulit mencapai target laba.
Transparansi dalam proses lelang proyek energi terbarukan juga menjadi masalah, dengan penunjukkan langsung dan pemilihan langsung yang tidak memiliki jaminan pelaksanaan sesuai ketentuan, bahkan bisa ditunda atau dibatalkan tanpa penjelasan, menambah risiko biaya yang tidak bisa diperoleh kembali (sunk cost).
“Negosiasi one-on-one, linimasa yang tidak jelas, dan proyek-proyek yang tidak disetujui melemahkan proses pengadaan, yang berujung pada menurunkan minat investor,” tutup Yustika. Demikian informasi seputar investasi EBT di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Postmineral.Com.