Modal Masih Minim, Pembiayaan Energi Terbarukan Indonesia Butuh Dorongan Negara?

Pembiayaan Energi Terbarukan Indonesia kembali menjadi sorotan setelah Climate Policy Initiative merilis pembaruan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan. Laporan tersebut menunjukkan celah pendanaan yang signifikan untuk mendukung target iklim nasional.

Selama periode 2019 hingga 2023, total investasi energi baru terbarukan mencapai US$38,02 miliar atau rata-rata US$1,79 miliar per tahun. Angka ini masih jauh dari kebutuhan tahunan sebesar US$9,1 miliar untuk mencapai tujuan iklim pada 2030.

Kondisi ini menegaskan pentingnya strategi pembiayaan yang lebih tajam dan terukur, terutama untuk proyek rendah karbon. Data CPI memperlihatkan bahwa pembiayaan energi fosil justru mendominasi dengan nilai rata-rata US$2,55 miliar per tahun.

Artinya, investasi pada energi fosil masih lebih dari dua kali lipat dibandingkan pembiayaan energi terbarukan. Dominasi fosil ini turut diperkuat kontribusi sektor swasta yang mencapai 73,72% dari total investasi listrik nasional, di mana sebagian besar dana dialokasikan ke proyek berbasis batu bara dan bahan bakar lain.

Pembiayaan Energi Terbarukan Indonesia Masih Tertinggal dari Kebutuhan Transisi

Sumber pendanaan luar negeri juga masih memegang peran penting. Tiongkok menjadi investor terbesar dengan US$2,48 miliar, disusul Korea Selatan sebesar US$1,52 miliar. Ketergantungan terhadap modal asing menunjukkan tantangan dalam memperkuat kemandirian sektor energi hijau domestik.

Di sisi lain, investasi domestik turut berperan namun masih belum mencukupi, terutama karena alokasi sektoral energi terbarukan belum jelas dalam dokumen komitmen iklim nasional.

Perbandingan biaya operasional juga menguatkan urgensi transisi. PLN mencatat biaya listrik dari diesel mencapai Rp 2.541 per kWh, sementara listrik dari tenaga air hanya Rp 110 per kWh. Tanpa subsidi bahan bakar domestik, biaya batubara bisa menyentuh Rp 1.211 per kWh.

Efisiensi teknologi terutama pada tenaga surya dinilai kunci, karena peningkatan kapasitas mampu menekan biaya produksi hingga Rp 731 per kWh.

Transisi energi Indonesia membutuhkan koordinasi kebijakan yang kuat, transparansi data, serta insentif pembiayaan yang mempercepat migrasi dari fosil ke energi bersih. Dengan platform data yang akurat, pemangku kepentingan dapat mengarahkan arus investasi menuju proyek berkelanjutan secara lebih efektif.

Laporan CPI menunjukkan kesenjangan pendanaan yang cukup besar antara kebutuhan dan realisasi pembiayaan energi hijau di Indonesia. Meski investasi meningkat, energi fosil masih mendominasi sehingga diperlukan kebijakan yang lebih fokus dan dukungan pembiayaan untuk mempercepat transisi energi bersih.

Demikian informasi seputar pembiayaan energi terbarukan Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Postmineral.Com.

Tags: bisnis, CPI, EBT, Ekonomi, Energi Bersih, ENERGI TERBARUKAN, iklim nasional, Investasi Energi, Keuangan, Pembiayaan Energi Terbarukan Indonesia, PLN, Transisi Energi