Sepanjang kuartal III 2018 Investasi Migas di Indonesia masih terbilang loyo dan belum menunjukan grafik peningkatan yang signifikan. Menurut salah satu pengamat energy Febby Tumiwa dilansir dari cnbcindonesia.com, faktor yang penyebab Investasi Migas di Indonesia belum signifikan adalah faktor regulasi.
Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan. Sampai kuartal III 2018 ini investasi migas baru tercapai 56% dari target 2018 yang sebesar US$ 14,2 miliar.
Untuk Kuartal II 2018 per bulan Maret saja investasi untuk sektor minyak dan gas ( migas) yang masuk ke Indonesia tercatat 2,4 miliar dollar AS, setara sekitar Rp 33 triliun.
Untuk menarik investor migas pemerintah memang sudah melakukan beberapa kebijakan yangh digadang-gadang memang pro investasi Migas namun tetap sesuai dengan aturan dan kebijakan. Selain itu revisi aturan yang telah ada, menerbitkan aturan baru, hingga memangkas aturan yang dianggap menghambat operasional.
Salah satu kontraktor migas besar asal AS, Chevron juga pernah menyinggung soal iklim investasi migas RI. Dalam forum US-Indonesia Investment Summit 2018, Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya menerapkan satu skema kontrak.
“Kami butuh beberapa jenis kontrak. Tidak hanya gross split PSC, tapi cost recovery,” kata dia di Jakarta, Kamis (27/9/2018) dilansir dari cnbcindonesia.com.
Chevron juga ingin agar pemerintah menghormati kesakralan kontrak atau sanctity contract yang telah disepakati bersama. Hal ini terkait dengan kewajiban para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menjual minyak bagiannya kepada PT Pertamina (Persero).