BHP Group Tertarik Investasi Nikel di Indonesia, Harapan Baru untuk Industri Nikel Nasional

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan bahwa raksasa tambang global, BHP Group Ltd, tengah mempertimbangkan untuk melakukan investasi nikel Indonesia. Meskipun sebelumnya BHP mengumumkan penghentian bisnis nikelnya di Australia hingga awal 2027, ada peluang besar mereka akan masuk ke pasar Indonesia dalam waktu dekat.

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa BHP berpeluang untuk melakukan investasi nikel pada masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Meidy menyatakan bahwa BHP sedang menunggu kepastian regulasi dari pemerintahan baru sebelum membuat keputusan final.

“Kita sempat berdiskusi, tidak menutup kemungkinan, ini belum pasti ya; BHP akan masuk ke Indonesia. Kayaknya [masuk] tergantung situasi politik. Ini kita lagi menunggu regulasi apa untuk pemerintahan yang baru. Kita melihat nanti mungkin tahun depan kali ya [baru masuk],” ujar Meidy saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (30/7).

Meidy menjelaskan bahwa BHP membutuhkan bahan baku untuk memproduksi nickel matte hingga produk turunannya, sehingga investasi di Indonesia menjadi strategis. Hal ini juga dapat menghilangkan stigma bahwa industri nikel dan produk hilirnya hanya didominasi oleh investor China.

Meidy berharap BHP dapat membangun industri dengan investasi nikel yang solid dan menjalin kerja sama dengan perusahaan lokal. Namun, sebelum kerja sama dapat terwujud, BHP harus mencari mitra untuk lini hulu, berupa tambang nikel, guna mengamankan pasokan cadangan.

Di sisi lain, alasan utama BHP menghentikan bisnisnya di Australia adalah karena tidak mampu bersaing dalam hal biaya produksi di tengah penurunan harga nikel. BHP, yang memproduksi nikel sulfida, menghadapi biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan produsen di Indonesia yang memproduksi nikel laterite.

Dengan harga nikel di kisaran US$15.000/ton hingga US$16.000/ton, BHP kesulitan bertahan untuk menghindari kerugian berkelanjutan.

Sebagai catatan, harga nikel di London Metal Exchange naik 0,16% menjadi US$15.794/ton pada penutupan perdagangan Jumat lalu (26/7). Meidy menambahkan bahwa dengan banyaknya insentif dari pemerintah Indonesia, BHP sulit bersaing dalam hal biaya produksi.

BHP sebelumnya mengumumkan bahwa bisnis Nickel West akan berada dalam “perawatan dan pemeliharaan” mulai Oktober karena rendahnya harga logam yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik. Mereka juga akan menghentikan pengembangan tambang nikel West Musgrave.

Namun, BHP tetap berkomitmen mengeluarkan A$450 juta (US$304 juta) per tahun untuk mendukung potensi dimulainya kembali bisnis nikel jika kondisi pasar membaik. Demikian informasi seputar pertumbuhan investasi nikel di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Postmineral.Com.

Tags: APNI, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, bisnis, Ekonomi, Indonesia, investasi, Investasi Nikel, Keuangan, Nikel, Tambang